Ketika Manusia dijauhkan dari Menstruasi

Pada tanggal 14 Juni 2020, saya mengajak Westiani Agustin yang lebih akrab di Ani, untuk ngobrol bersama di Instagram Live mengenai menstruasi. Ani bersama rekannya mendirikan Biyung Indonesia, sebuah usaha sosial untuk menyediakan pembalut kain serta memberdayakan perempuan membangun kelompoknya membuat pembalut kain.

Kami berangkat dari konsep menstruasi yang sama yaitu mengenai konsep dimana seharusnya Menstruasi itu Gratis. Pada kenyataannya perempuan yang masih menggunakan pembalut konvensional mengeluarkan uang minimal sebesar Rp. 20.000 untuk membeli pembalut.

Belum lagi dengan ditambah pereda nyeri, penambah darah dan sederetan obat-obatan yang harus dikonsumsi perempuan saat menstruasi karena kondisi tubuhnya yang tidak memungkinkan dia untuk menstruasi dengan normal. Seorang perempuan yang memiliki masalah menstruasi bisa menghabiskan uang hinga Rp. 5.000.000 hanya untuk membeli obat-obatan.

Di tengah masyarakat yang mentitikberatkan perempuan pada fungsi reproduksinya, tampaknya tidak ada upaya untuk mendukung perempuan melalui masa menstruasi yang benar-benar bisa merepotkan dan menyakitkan. Perempuan dibebankan untuk membeli pembalut yang pada akhirnya tidak ramah lingkungan.

Pada kenyataannya perempuan dibuat untuk menjauh dari lingkungannya.

Ani kemudian menceritakan kepada saya bagaimana beberapa perempuan masyarakat adat bermenstruasi dan bagaimana perempuan jaman dulu menstruasi. Ketika mereka menstruasi, mereka mengambil waktu untuk istirahat di rumah khusus untuk menstruasi. Mungkin kamu pernah mengenalnya dengan menstruation hut yang ada di Bangladesh.

Pada mulanya rumah khusus menstruasi ini dibuat agar perempuan dapat bebas menstruasi dan mengalirkan darahnya ke tanah. Kerja domestik yang tadinya ia lakukan, diambil oleh pasangannya. Ini memberikan waktu bagi perempuan untuk istirahat dari kerja domestik yang dia lakukan. Proses ini disebut dengan Free Bleeding.

Ani juga menceritakan bahwasannya kita bisa melakukan Free Bleeding di rumah kita sendiri. Kita bisa melatih tubuh kita untuk mengeluarkan darah menstruasi saat kencing.

Ini membuat saya bertanya-tanya: bagaimana kita mengatur kencing dan darah menstruasi ketika keduanya datang dari lubang yang berbeda? Ia menjelaskan bahwa kita bisa melatih tubuh kita untuk Free Bleeding sambil meminum banyak air, kemudian ketika waktunya tiba untuk buang air kecil, kita bisa menunggu darah menstruasi kita keluar. Istilahnya kita “tongkrongin.”

Tentu pengalaman Ani menceritakan sewaktu ia melatih tubuhnya untuk Free Bleeding dilakukannya saat dia di rumah selama masa karantina Covid-19. Dan agak sulit ketika kita ingin Free Bleeding saat kita bekerja di kantor dan berpergian. Bangunan yang kita miliki tidak memungkinkan perempuan untuk melakukan free bleeding.

Berkaca dari pengalaman perempuan yang mengalami kompleksitas masalah sosial saat menstruasi membuat saya tersadar bahwa manusia dijauhkan dirinya dari menstruasi. Ia dibuat membayar dan kerepotan.

Tentu kamu akan berfikir; bagaimana jika kita memodalkan semua perempuan dengan cawan menstruasi yang kini sedang populer. Tidak segampang itu. Tidak semua orang nyaman memasukkan benda ke dalam vagina mereka.

Inisiatif Ani bersama Biyung tentunya tidak berhenti di pembuatan kain pembalut. Ia memperjuangkan agar menstruasi dapat menjadi hal yang memberdayakan. Inisiatifnya mendorong agar Puskesmas menyokong dan mendukung kerja pemberdayaan perempuan untuk membuat pembalut kain. Kelompok kerja perempuan ini akan membangun perekonomian dan solidaritas sesama perempuan.

Selain itu, ini juga akan mengajak perempuan untuk menyadari bagaimana perempuan sebelum kita menstruasi. Kita menstruasi kembali seperti dulu.

Ketika Ani menjelaskan tentang inisiatifnya, saya membayangkan perempuan-perempuan berkumpul dari berbagai umur. Mereka menceritakan pengalaman menstruasi mereka dan saling menurunkan pengetahuan dari generasi ke generasi. Ini bisa menjadi sebuah tradisi dan budaya baru.

Tentunya upaya seperti ini harus didorong oleh pemerintah dan dimasukkan ke dalam anggaran dan program. Alih-alih memikirkan ini sebagai beban negara, kita harus memikirkannya sebagai investasi sumber daya manusia.

Coba bayangkan jika perempuan miskin yang drop out dari sekolah hanya karena menstruasi, bisa kembali lagi ke sekolah karena upaya ini. Ia bisa kembali menimba ilmu daripada dinikahkan. Hal ini dapat menurunkan angka pernikahan anak.

Selain itu, permasalahan perempuan miskin paling tidak bisa sedikit teratasi. Dengan adanya upaya untuk menggratiskan pembalut dan memberikan pembalut kain, perempuan yang tidak sanggup membeli pembalut konvensional dapat terhindar dari berbagai masalah kesehatan seperti infeksi saluran kencing akibat buruknya kesehatan menstruasi.

Hal lain yang kita tidak sadari adalah sesungguhnya Kesehatan Menstruasi temasuk dalam Hak Sehat Setiap Manusia. Hak kesehatan manusia tercantum dalam:

  • Deklarasi HAM Dunia Pasal 25, Pasal 12 ayat 1 Konvensi Internasional tentang jaminan atas hak pelayanan kesehatan,
  • Pasal 12 dan 14 Konvensi Internasional tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan,
  • Sila kedua Pancasila tentang Kemanusiaan yang adil dan beradab,
  • Sila kelima Pancasila tentang Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,
  • Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 pasal 4 tentang jaminan atas hak memperoleh derajat kesehatan yang optimal,
  • Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang keadaan sehat secara fisik, mental dan sosial secara utuh,
  • Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang jaminan pemenuhan hak kesehatan reproduksi bagi setiap orang, dan
  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 yang menjamin tercapainya kualitas hidup dan pemeuhan hak-hak reproduksi.

Tentunya menstruasi tidak bisa dipisahkan dari kesehatan manusia. Menstruasi adalah anugerah alam semesta untuk manusia. Oleh karena itu tidak seharusnya perempuan dibuat membayar apalagi dimiskinkan karena menstruasi. Adanya menstruasi melahirkan manusia.

Jangan sampai kita menjauhkan manusia dari menstruasinya sendiri. Jangan sampai manusia merasa jijik dan marah dengan tubuhnya karena menstruasi. Tanpa adanya menstruasi kita tidak akan ada. Inilah siklus kehidupan kita yang normal.

Kita harus mendorong kebijakan yang ramah menstruasi dan memberikan pendidikan menstruasi ke setiap orang termasuk perempuan dan lelaki. Karena dengan demikian kita bisa membantu menghilangkan stigma-stigma menstruasi dan mengajarkan anak-anak kita untuk saling memberi dukungan.

Mari dorong agar manusia bisa menstruasi gratis!

***

Berikut refrensi tentang menstruasi sebagai bahan bacaan:

Leave a Comment