Tulisan ini adalah hasil refleksi dari rangkaian lokakarya dan webinar di tengah pandemi Covid-19.
Jaga Kesehatan, itulah slogan yang sering kita dengar. Tentu sebagai dokter gigi saya akan menyarankan hal serupa untuk pasien-pasien gigi saya. Saya akan bilang bangun kebiasaan kebersihan gigi yang baik agar saat tua tidak mengalami penyakit gigi dan mulut.
Namun kenyataannya menjaga kesehatan tidak segampang olahraga mengikuti influencer body goals. Lingkungan kita tidak mendukung kita untuk hidup sehat.
Sebagai contoh, tingkat polusi udara Jakarta berada di angka 67. Angka ini dianggap Sedang oleh situs Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Namun jika kamu melihat dimana Jakarta berada berdasarkan Indeks Kualitas Udara Dunia, kamu akan melihat bahwa kualitas udara Jakarta dianggap tidak sehat.
Tentunya standar ini dibuat berdasarkan kebijakan-kebijakan yang tidak mempertimbangkan kesehatan masayarakat. Pemerintah membuat standar serendah itu agar pemerintah tidak perlu merasa bertanggung jawab atas dampaknya pada kesehatan kita. Nyatanya infeksi saluran pernafasan adalah penyakit terbesar yang diderita oleh orang Jakarta, berdasarkan data 10 penyakit terbanyak di RSUD Jakarta.
Kenapa polusi udara bisa ada? Karena banyaknya kendaraan pribadi di jalanan. Ketimbang memperbaiki dan menambah jumlah transportasi publik, pemerintah mengabaikan pentingnya meningkatkan pelayanan transportasi publik. Hal ini kemudian membuat orang memilih untuk menggunakan transportasi pribadi. Tentunya pemerintah juga menerima pemasukkan dari adanya transportasi pribadi melalui pajak kendaraan dan lainnya.
Belum lagi dengan sederetan peraturan yang hendak disahkan seperti RUU Cipta Lapangan Kerja dan UU Minerba. Buruh perempuan seringkali menahan untuk buang air kecil karena mengejar target produksi, atau misalkan ketika menstruasi, buruh perempuan jarang mengganti pembalut demi mengejar target produksi, alhasil buruh perempuan rentan terkena infeksi saluran kemih. Apalagi jika RUU CiLaKa ini disahkan? Apakah buruh perempuan memiliki jaminan?
RUU CiLaKa ini tidak menyebutkan sedikitpun tentang kebutuhan buruh perempuan yaitu hak-hak dasar seperti cuti haid. Sebelum RUU ini disahkan, kondisi kerja buruh perempuan sudah membuatnya rentan terkena berbagai macam infeksi, apalagi nanti jika kelak disahkan.
Ini baru RUU CiLaKa belum lagi dengan UU Mineral dan Batubara. yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan wilayah pertambangan. Jika pertambangan bebas dilakukan, bagaimana dengan limbahnya nanti dan dampak kesehatannya ke masyarakat?
Bagaimana kita mau menjaga kesehatan jika kondisi dan lingkunan kita hidup tidak mengizinkan kita untuk sehat?
Belum lagi dengan adanya kenaikan iuran BPJS ( Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan yang makin menyulitkan warganya. Pemerintah dianggap defisit yang diperkirakan mencapai Rp 28 triliun. Namun apakah dengan menaikkan iuran maka akan mengatasi masalah defisit negara?
Tentu saja tidak. Malah hal ini akan menambah defisit karena semakin menyulitkan untuk bayar.
Seperti yang saya uraikan diatas tadi. Apakah biaya pengobatan masyarakat yang sakit menjadi tanggungan individu seseorang ketika negara sendiri menciptakan lingkungan yang tidak sehat? Apalagi jika negara meraup keuntungan dari pajak kendaraan hingga cukai rokok ((Watchdoc Documentary, 2020) & (Thabrany, 2014)). Itu semua tentunya bisa menutupi defisit dan membiayai seluruh pengobatan masyarakat Indonesia.
Kita sering bilang bahwa negara dibebankan. Ya tentu negara dibebankan karena ini seharusnya sudah menjadi tanggungan negara karena mengkondisikan rakyatnya hidup di lingkungan yang tak sehat. Lagipula kenapa kita melihat ini sebagai beban?
Pada kenyataannya pemerintah tidak menginvestasikan anggarannya untuk memperbaiki fasilitas kesehatan yang ada di tingkat desa sehingga menyulitkan tenaga medis untuk bekerja. Upah tenaga medis jika bekerja di puskesmas pun tak sepadan dengan tenaga dan kerja yang mereka lakukan.
Dengan menaikkan iuran BPJS, negara akan gagal dalam mencapai tujuan utama yaitu membangun Cakupan Kesehatan Universal (Sutarsa, Prastyani & Al Adawiyah, 2020) tanpa perlu mengekspos masyarakatnya terhadap kesulitan finansial (Hawkes, 2020).
Dalam melihat kesehatan melalui perspektif feminis, kita tidak hanya melihat akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terutama bagi perempuan dan anak perempuan, namun pencegahan memainkan peranan yang sangat penting (Hawkes, 2020). Pencegahan dalam artian merumuskan kebijakan kita terkait ekonomi, politik dan sosial yang kelak dapat berdampak kepada kesehatan kita.
Kita perlu menggunakan perspektif kesehatan feminis dalam melihat seluruh kebijakan yang hendak dikeluarkan oleh pemerintah. Termasuk melibatkan perempuan dan kelompok rentan yang menggunakan persepektif adil gender dalam menentukan kebijakan yang ada sebagai langkah preventif/pencegahan dari kesehatan publik.
Namun akan sulit untuk mewujudkan representasi perempuan ke dalam ranah kebijakan jika tenaga kesehatan perempuan sendiri masih mengalami kekerasan berbasis gender dalam lingkup hubungannya terkecil hingga ke dalam komunitas masyarakatnya. Belum lagi akses yang terbatas bagi pasien dan stigma-stigma yang melekat jika hendak mencari pertolongan.
Tentu tulisan ini belum lengkap dalam menyebutkan kekerasan berbasis gender yang dialami tenaga medis dan pasien, serta ketimpangan akses kesehatan terhadap perempuan dan kelompok marjinal dan minoritas, namun kita bisa berkaca bagaimana seharusnya sistem kesehatan dibangun agar semua orang mendapatkan askes yang sama untuk hidup sehat dan memudahkan akses kesehatan itu.
Jika ekofeminisme memperjuangkan hak-hak perempuan atas tanah dan lingkungan, maka agenda feminis berkesinambungan dengan memperjuangkan dan membangun kehidupan masyarakat yang sehat. Tentunya hal ini melibatkan seluruh lapisan mayarakat dari tingkat lokal, nasional hingga dunia untuk menciptakan lingkungan hidup yang sehat.
Kesehatan merupakan fondasi dasar orang beraktifitas. Tanpa adanya upaya untuk sama-sama memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat bagi seluruh masyarakat, maka kita akan sulit mengatasi masalah kesehatan.
Tentunya sebagai tenaga medis kita harus bisa merefleksi bagaimana seharusnya peran kita dalam mengadvokasi kebijakan-kebijakan. Tidak hanya kebijakan terkait kesehatan, namun terkait dengan kebijakan ekonomi dan politik yang pro terhadap kesehatan hidup pasien kita.
Kesehatan bukanlah beban, melainkan investasi.
***
Daftar Pustaka
Hawkes, S. (2020). Setting the #Feminist Agenda: Universal Healthcare and Women [Video]. Retrieved from https://www.facebook.com/NationalWomensCouncilofIreland/videos/1475653095954354
Sutarsa, I., Prastyani, A., & Al Adawiyah, R. (2020). Kenaikan iuran BPJS bukan solusi terhadap masalah kesehatan di Indonesia: 4 hal yang perlu dilakukan. Retrieved 27 June 2020, from https://theconversation.com/kenaikan-iuran-bpjs-bukan-solusi-terhadap-masalah-kesehatan-di-indonesia-4-hal-yang-perlu-dilakukan-140547
Thabrany, H. (2014). Jaminan kesehatan nasional (2nd ed.). Depok: Rajagrafindo Persada.
Watchdoc Documentary. (2020). Dilarang Sakit [Video]. Retrieved from https://youtu.be/ucysGwpGg40