Sebagai dokter gigi, kita jarang sekali mengenali ketakutan seorang pasien ke dokter gigi lebih dalam. Ketakutan ke dokter gigi seringkali di kenal dengan adanya kecemasan pasien.
Namun tanpa disadari, berada di kursi pasien gigi dapat membuat korban kekerasan seksual mengingat pengalamannya kembali. Posisi pasien yang berbaring di dental unit, posisi yang dekat dengan dokter gigi, serta bau lateks dapat mengingatkan korban kekerasan seksual terhadap pengalaman kekerasan yang pernah ia dapatkan.
Kenapa? Karena pasien seringkali merasa tidak berdaya ketika berada di kursi pasien, mereka menyerahkan dan memasrahkan dirinya di atas kursi pasien gigi. Sama halnya ketika pasien merasa tidak berdaya ketika mengalami kekerasan seksual. Korban kekerasan seksual seringkali mengalami tonic immobility atau imobilitas tubuh dan hal ini adalah reaksi alami mahluk hidup untuk bertahan hidup.
Posisi kursi pasien yang dimiringkan dapat memicu ingatan korban kekerasan seksual terhadap kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Trauma pada korban kekerasan seksual tidak bisa hilang begitu saja terutama jika ia tidak mendapatkan layanan konseling.
Trauma juga dapat berkontribusi terhadap oral health / OH / kesehatan gigi dan mulut mereka. Ditambah dengan adanya trauma kekerasan seksual, mereka akan menghalangi diri mereka untuk ke dokter gigi, dan hal ini akan memperparah kondisi gigi mereka.
Lantas bagaimanakah dokter gigi dapat membuat pasien merasa berdaya di kursi pasien?
Adalah dokter gigi bernama Sharonne Zaks yang berupaya memahami rasa kecemasan korban kekerasan seksual yang kesulitan ke dokter gigi. Ia mengembangkan sebuah teknik untuk melayani pasien gigi.
Zaks pun mengutip sebuah studi ketika berbicara di TedXSydney, ia menyatakan bahwa sebanyak 63% korban kekerasan seksual menunda untuk pergi ke dokter gigi ketika seharusnya ia pergi untuk perawatan kedaruratan hingga rasa sakitnya menjadi lebih parah.
Zaks mengatakan bahwa seringkali dokter gigi merasa mendominasi ruangan prakteknya, oleh karena itu penting sekali untuk dokter gigi dapat memperlakukan pasiennya dengan setara. Bagaimana caranya?
Setiap Zaks hendak melakukan sebuah tindakan, ia akan memberitahu mengenai rasa sakit yang mungkin akan dirasakan pasien. Bagi pasiennya ini akan membantu dia merasa berdaya dan memiliki kendali. Bahkan kadangkala rasa sakit yang di rasakan pasien lebih membuatnya punya kuasa ketimbang dengan rasa baalnya.
Zaks akan mengkomunikasikan setiap langkah terhadap pasien sehingga pasien tahu apa yang akan terjadi padanya. Ini juga termasuk apa yang disebut informed consent. Seringkali dokter gigi pun luput untuk melaksanakan informed consent secara oral, walaupun sudah dilakukan melalui tanda tangan kertas persetujuan tindakan, namun memandu pasien setiap langkah tindakan penting untuk dilaksanakan.
Saya pun sering luput dalam melakukan ini sehingga pasien seringkali kaget dan trauma ke dokter gigi. Oleh karena itu kita sebagai dokter gigi harus terus memandu pasien dalam setiap langkah tindakan yang akan kita lakukan.
Saya takut jika saya memberitahu kemungkinan rasa sakit yang akan muncul, pasien malah mengurungkan niatnya dan tidak jadi melakukan perawatan. Namun pada kenyataanya tidak demikian.
Jika kita sebagai dokter gigi dapat mewanti-wanti pasien terhadap rasa sakit yang akan muncul saat tindakan, pasien akan merasa percaya diri dan siap menghadapi tindakan perawatannya. Kita juga harus memberitahu kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi jika tindakannya gagal, dan kemungkinan untuk merujuk pasien ke fasilitas yang lebih baik.
Dokter gigi dan pasien dapat membangun sebuah hubungan yang dapat membantu diri pasien sebagai penyintas kekerasan seksual bangkit dari rasa malu dan trauma psikologisnya.
Ketika dokter gigi membangun komunikasi terhadap pasien dengan baik, pasien akan merasa berdaya dan memiliki kuasa. Ia akan merasa punya sederetan pilihan yang dapat dia lakukan bersama dokter giginya. Ia juga akan merasa berharga karena kebutuhannya diperhatikan dengan seksama, karena ini yang dibutuhkan penyintas kekerasan seksual, yaitu rasa berharga.
Self-worth is critical for survivors to building themselves a better future, and the mouth is so central to this. The smile alone indicates our self-esteem, our physical health, and employability.
(“How to end fear of the dentist | Sharonne Zaks – TEDxSydney”, 2020)
Zaks kemudian melanjutkan, bahwa untuk menangani pasien yang merupakan peyintas kekerasan seksual hanya bisa dilakukan jika kita terbuka secara emosional dengan pasien kita. “Hal ini hanya bisa dilakukan jika kita memberikan ruang dan waktu dan benar-benar mendengarkan dengan rasa kasih sayang sehingga pasien bisa merasa nyaman untuk terbuka. Mereka akan mengatakan padamu tentang ketakutan mereka dan harapan mereka, dan informasi penting lainnya.”
Zaks menambahkan bahwa pasien akan menangis ketika ia bercerita, oleh karena itu dokter gigi harus nyaman dengan rasa emosi sebagai dokter gigi. Perasaan emosi ini akan membangun relasi yang baik untuk melakukan perawatan.
Saya pernah mengalami proses dimana saya mendapati pasien saya menangis ketika bercerita tentang tekanan rumah tangganya. Walaupun saya tidak jadi melakukan tindakan perawatan karena tekanan darahnya tinggi, saya lebih memahami bagaimana perempuan merasa tak berdaya ketika ia tak punya akses ekonomi dan tak bisa mengkases pengobatan gigi.
Zak merumuskan pola baru untuk membangun relasi dengan pasien gigi. Pasien gigi dapat kita ajak bicara agar ia mengatakan hal-hal apa yang mempermudah dirinya merasa nyaman. Dan dokter gigi dapat mendorong pasien untuk merasa berdaya dengan cara rendah hati.
Zaks telah mengembangkan teknik untuk melayani pasien yang memiliki trauma kekerasan seksual. Untuk itu kamu bisa mengunjunginya disini.
Apa yang Sharonne Zaks katakan memiliki kebenaran. sewaktu awak-awal saya lulus dan praktek, saya tidak memiliki cara untuk mengembangkan teknik pendekatan pasien tersebut. Cara Zaks untuk menangani pasien penyintas berlaku untuk kasus pasien lainnya.
Hingga kini saya masih dalam proses belajar bagaimana melakukan pendekatan pasien yang baik sehingga ia merasa berdaya dan memiliki pilihan. Dan ini yang terpenting bahwa pasien merasa berdaya, berharga dan layak untuk mendapatkan perawatan gigi.
Daftar Pustaka dan referensi bacaan:
Dougall, A., & Fiske, J. (2009). Surviving Child Sexual Abuse: The Relevance to Dental Practice. Dental Update, 36(5), 294-304. https://doi.org/10.12968/denu.2009.36.5.294
How to end fear of the dentist | Sharonne Zaks – TEDxSydney. TEDxSydney. (2020). Retrieved 14 July 2020, from https://tedxsydney.com/talk/how-to-end-fear-of-the-dentist-sharonne-zaks/.
Júnior, I., Goettems, M., & Azevedo, M. (2017). Oral health status of children and adolescents victims of abuse: a literature review. RSBO, 13(2), 104. https://doi.org/10.21726/rsbo.v13i2.279
Larijani, H., & Guggisberg, M. (2015). Improving Clinical Practice: What Dentists Need to Know about the Association between Dental Fear and a History of Sexual Violence Victimisation. International Journal Of Dentistry, 2015, 1-12. https://doi.org/10.1155/2015/452814
Leeners, B., Stiller, R., Block, E., Görres, G., Imthurn, B., & Rath, W. (2007). Consequences of childhood sexual abuse experiences on dental care. Journal Of Psychosomatic Research, 62(5), 581-588. https://doi.org/10.1016/j.jpsychores.2006.11.009
Zaks, S. (2020). Links, References and Resources – Sharonne Zaks Dental. Sharonne Zaks Dental. Retrieved 14 July 2020, from http://zaksdental.com.au/trauma-informed-dental-care-adult-survivors-sexual-assault/links-references-resources-including-quoted-dentist-lecture-videos/.
193 Comments