Sebagai orang yang sangat fokus di pembangunan kesehatan dan gender, saya tidak melihat rokok sebagai agenda kesetaraan gender. Ya tentu, siapapun berhak merokok baik perempuan atau lelaki. Stigma terhadap perempuan merokok memang harus dilawan, namun kesetaraan gender bukanlah soal persaingan antara perempuan dan lelaki untuk merokok.
Untuk melihat gender dalam rokok, kita harus melihat bagaimana industri rokok sangat melukai perempuan.
Pada 30 Juni 2020, saya menyempatkan diri untuk berbincang dengan teman saya Afina melalui Instagram Live. Kami berbicara mengenai rokok yang merupakan cash crop atau tumbuhan yang sengaja ditanam untuk menghasilkan keuntungan oleh penjajah. Afina menjelaskan dari buku yang ia baca Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt oleh Ann Laura Stoler, menyatakan bahwa tembakau yang kemudian secara besar-besaran ditanam di Indonesia, mulanya ditanam oleh penjajah Belanda dan mepekerjakan buruh-buruh lelaki Indonesia.
Sehingga jika kamu bilang merokok adalah budaya Indonesia maka kita harus sadar perilaku ini dibentuk untuk menguntungkan pihak tertentu, yaitu Belanda. Memang ada beberapa budaya dimana perempuan menyirih, tapi itu tidak didapatkan dari hasil kerja buruh perempuan. Perempuan Eropa hingga nenek-nenek di desa-desa yang merokok, melakukan pelintingan tembakau itu sendiri. Dan kegiatan melinting ini menjadi terapi agar mereka tidak kecanduan dan mengerem diri.
Pemerintah Belanda pada saat itu sangat homofobik sehingga mereka membenci melihat buruh lelaki yang melakukan seks sesama jenis. Mereka memperdaya perempuan Jawa dengan iming-iming upah tinggi untuk mau bekerja di perkebunan tembakau. Sayangnya perempuan-perempuan yang dipekerjakan tidak diberi upah dan dipaksa melacur untuk mendapatkan uang dari buruh lelaki setiap malamnya.
Hingga hari ini, masalah buruh perempuan tidak berhenti pada sejarahnya. Buruh perempuan rentan sekali mendapatkan eksploitasi dan tidak mendapatkan hak cuti haidnya. Anak perempuan dikondisikan untuk bekerja di perkebunan tembakau dan terpapar nikotin sejak kecil, sehingga setiap mereka panen tembakau banyak yang muntah.
Tentu saja masalah industri rokok, tidak berhenti di masalah buruh perempuan saja. Sewaktu Belanda meminjam lahan masyarakat adat untuk ditanami tembakau, tanah masyarakat adat tidak kembali kepada mereka ketika perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi (Stoler, 2008). Perempuan adatlah yang harus kembali berjuang memperebutkan lahan mereka (“Peran Perempuan Adat di Tengah Wabah COVID-19 bersama Radio Gaung AMAN – PEREMPUAN AMAN”, 2020).
Selain masalah buruh perempuan dan perempuan adat, rokok memang menjadi masalah kesehatan yang patut kita sorot. Banyak yang bilang cukai rokok bisa membayar anggaran kesehatan. Namun kenyataannya tidak demikian. Cukai rokok masih macet dan BPJS kesehatan pun defisit karena penyakit yang disebabkan oleh rokok.
Sebagai feminis, kita harus bisa membangun agenda kesehatan feminis yang komprehensif dan holistik. Industri rokok menciptakan kecanduan yang sama sekali tidak mengindahkan agenda kesehatan feminis ini.
Lagipula, pemikiran rokok membiayai anggaran kesehatan sejatinya menjadi pembiaran orang yang sakit karena rokok, karena mereka beralasan rokok akan membiayai kesehatan mereka. Apakah kita harus membuat orang sakit dari rokok kemudian kita menghamburkan uang untuk kesehatan dari cukai rokok? Pola pikir ini merupakan pembelaan dan sangkalan sebagaian besar dari para penikmat industri rokok, mau itu perempuan ataupun lelaki.
Belum lagi terkait fakta bahwa rokok ini memiskinkan konsumennya.
Di daerah perkotaan, pengeluaran rokok mencapai 11,79 persen. Sementara di pedesaan, angkanya 11,53 persen. Pengeluaran itu bahkan 3,2 kali lebih besar untuk telur dan susu, 5 kali lebih besar dari pengeluaran untuk pendidikan, dan 13 kali besar dari pengeluaran rata-rata mereka untuk kesehatan. Dari catatan TNP2K, pengeluaran masyarakat miskin kota untuk pendidikan cuma 2,41 persen, sementara masyarakat miskin desa cuma 1,45 persen. Untuk kesehatan bahkan lebih kecil lagi, anya 0,9 persen oleh masyarakat kota dan 0,86 persen oleh masyarakat miskin.
(Adam, 2020)
Lantas bagaimana kita mendepankan agenda kesetaraan gender untuk melawan ketidakadilan rokok?
Tentunya wacana feminisme tidak berhenti pada penghilangan stigma tentang perempuan yang merokok. Kita perlu menyadari bahwa kita sebagai perempuan dijadikan target rokok dengan menunggangi kesetaraan gender.
Jika kita membela perempuan merokok sebagai agenda kesetaraan gender, tentu kita harus mengulik kesadaran kita. Apakah kamu merokok untuk bisa dipadang setara sama lelaki? Jika ya, lantas apa bedanya dengan mempromosikan maskulinitas toksik yang menyatakan bahwa untuk menjadi seperti lelaki harus bisa merokok? Dengan begitu kamu melihat bahwa perempuan harus bersaing dengan lelaki.
Perspektif lain yang harus kita lihat adalah, industri rokok berusaha menciptakan citra perempuan bebas dan merdeka dengan menjual kemasan rokok yang ramping. Ini sama halnya dengan mempromosikan gaya hidup baru dan mengatakan kalau tidak merokok jadi tidak bebas dan merdeka. Justru kesetaraan gender dijadikan gimmick pemasaran rokok. Karena industri rokok tidak memerdulikan tentang kesetaraan gender.
Merokok tidak membuat kamu sebagai perempuan terbebaskan dari patriarki.
Kalau kamu menikmati rokok, ya silahkan. Namun kita harus menghindari menggunakan kesetaraan gender sebagai narasi pembebasan perempuan atau alasan untuk merokok, karena tentu itu tidak membebaskan kita sama sekali. Candu rokok ini diciptakan agar kita terus membeli dan agar buruh rokok terus bekerja.
Jika ingin melihat agenda kesetaraan gender yang lebih besar, kita harus bergerak dengan cara mengeleminasi dan menghilangkan hal-hal yang membuat masyarakat menjadi tidak sehat, termasuk penghapusan praktik eksploitatif industri rokok.
Lantas kalau industri rokok hilang, bagaimana dengan petani dan buruh-buruhnya?
Jika kamu benar-benar perduli dengan kehidupan buruh dan petani, mengapa harus menunggu mempertanyakan nasib buruh setelah pabrik rokok tidak ada? Kemanakah kita ketika buruh mengalami eksploitasi dari penghilangan cuti haid dan buruh anak terpapar nikotin? Tentunya agenda feminis harus bisa menciptakan alternatif lain ketika buruh keluar dari pabrik-pabriknya, bukan malah membiarkan mereka menjadi buruh.
Kita juga perlu memerhatikan bagaimana Sales Promotion Girl juga mendapatkan kekerasan seksual oleh pelanggan rokok. Mereka terpaksa bekerja malam hari menggunakan pakaian seksi hanya untuk menarik pelanggan yang akan melecehkannya juga.
Tentu feminisme adalah pilihan, namun feminisme juga tentang pembebasan dari penindasan perempuan lain di sekitar kita. Jika kamu punya pilihan untuk merokok, apakah itu sebanding dengan harga ketiadaan pilihan buruh perempuan, anak buruh perempuan dan Sales Promotion Girl yang terpaksa bekerja agar kamu bisa memiliki pilihan merokok?
***
Referensi Bacaan:
“The Harvest is in My Blood” | Human Rights Watch. (2020). Retrieved 1 July 2020, from https://www.hrw.org/report/2016/05/24/harvest-my-blood/hazardous-child-labor-tobacco-farming-indonesia
Adam, A. (2020). Mereka Makin Miskin karena Rokok – Tirto.ID. Retrieved 1 July 2020, from https://tirto.id/mereka-makin-miskin-karena-rokok-cxw1
Adisya, E. (2020). Ramping, Keren, dan Murah: Bagaimana Industri Rokok Sasar Perempuan dan Anak. Retrieved 1 July 2020, from https://magdalene.co/story/ramping-keren-dan-murah-bagaimana-produsen-rokok-sasar-perempuan-dan-anak
Coca, N. (2020). Big Tobacco Wants Indonesian Women to Light Up and Liberate. Retrieved 1 July 2020, from https://www.ozy.com/around-the-world/big-tobacco-wants-indonesian-women-to-light-up-and-liberate/80168/
Defisit BPJS akibat pembiayaan penyakit karena rokok perlu solusi. (2020). Retrieved 1 July 2020, from https://www.antaranews.com/berita/928719/defisit-bpjs-akibat-pembiayaan-penyakit-karena-rokok-perlu-solusi
Kosen, S. (2020). Riset terbaru: kerugian ekonomi di balik konsumsi rokok di Indonesia hampir Rp600 triliun. Retrieved 1 July 2020, from https://theconversation.com/amp/riset-terbaru-kerugian-ekonomi-di-balik-konsumsi-rokok-di-indonesia-hampir-rp600-triliun-89089?__twitter_impression=true
Peran Perempuan Adat di Tengah Wabah COVID-19 bersama Radio Gaung AMAN – PEREMPUAN AMAN. PEREMPUAN AMAN. (2020). Retrieved 11 July 2020, from https://perempuan.aman.or.id/peran-perempuan-adat-di-tengah-wabah-covid-19-bersama-radio-gaung-aman/.
Stoler, A. (2008). Capitalism and confrontation in Sumatra’s plantation belt, 1870-1979. Ann Arbor: Univ. of Michigan Press.
Mbak Dea, kayaknya ada yang gak terima sama tulisan ini. Gak masalah juga sih, cuma dia jadi nyinyir nyebelin nggak jelas gitu yang nggak dibales dengan tulisan
Ya tidak masalah. Dia punya hak nyinyir.