Besar di lingkungan patriarkal tentunya tidak membuat seseorang lepas dari stereotipe-stereotipe perempuan. Walaupun perempuan sudah banyak mendapatkan akses pendidikan dan kerja, namun akses tersebut masih terikat dengan karakteristik perempuan domestik. Contohnya perempuan disekolahkan untuk menjadi dokter, dokter gigi, perawat, dan pekerjaan lainnya yang identik dengan kerja perawatan karena ada pra-anggapan bahwa perempuan lebih nurturing. Selain itu menjadi tenaga medis juga dianggap menjanjikan jam kerja yang fleksibel.
Namun apakah memilih pekerjaan berdasarkan fleksibilitas merupakan pilihan yang benar-benar bebas untuk perempuan?
Hingga hari ini kita bisa melihat perempuan mendominasi pekerjaan yang berkaitan dengan kesehatan. Menurut publikasi berjudul Gender Equity in the Health Workforce: Analysis of 104 countries yang dikeluarkan oleh World Health Organization, perempuan mengisi 70% angkatan kerja tenaga kesehatan.
Sebuah fenomena yang menjelaskan peningkatan jumlah perempuan dalam sebuah profesi disebut feminisasi profesi. Dalam hal ini, angkatan kerja dokter gigi Indonesia mengalami feminisasi profesi. Lalu jika perempuan sudah menguasai angkatan kerja, apakah permasalahannya selesai disitu saja? Tentu saja tidak.
Perempuan masih mengalami beban ganda. Dalam konteks patriarkis, ia diwajibkan melakukan pekerjaan domestik dan profesinya di luar rumah, sehingga menyulitkan dia untuk dapat bekerja penuh waktu. Selain itu, kebergantungan perempuan terhadap pasangan lelakinya, orang tua dan keluarganya, membuat perempuan melakukan kompromi untuk menyesuaikan karirnya. Hal ini dituliskan oleh peneliti Ade W. Prastyani dalam artikel berjudul “Riset tenaga kesehatan perempuan: himpitan peran gender sangat pengaruhi karier mereka” yang tayang di The Conversation.
“Riset ini menemukan banyak tenaga yang direkrut program NS sebenarnya menginginkan untuk kembali bekerja di kawasan rural dan terpencil setelah mereka menyelesaikan kontrak dua tahun. Namun dari hampir semua tenaga kesehatan NS yang kami wawancarai, faktor keluarga dan persepsi peran gender mendominasi narasi mereka akan perjalanan karier. Untuk banyak tenaga kesehatan, keputusan mengenai lokasi kerja mereka selalu diwarnai pertimbangan kuat untuk mendapatkan persetujuan keluarga.” (Prastyani, 2019)
International Labour Organization (ILO) mengeluarkan laporan pada tahun 2018 bahwa perempuan menghabiskan 76.2 persen waktunya untuk melakukan kerja perawatan yang tidak dibayar, terutama di negara-negara Asia, perempuan menghabiskan sekitar 80 persen untuk merawat keluarganya. Adanya beban ganda untuk melakukan kerja perawatan dan kerja profesi utamanya membuat perempuan cenderung memilih pekerjaan yang self-employed dan bekerja di ekonomi informal.
Jika kita lihat, dokter, dokter gigi dan perawat Indonesia yang bekerja di luar institusi rumah sakit seringkali bekerja pada klinik-klinik kecil atau klinik swasta. Mereka bekerja pada waktu-waktu tertentu yang memudahkan mereka untuk dapat bekerja dan tetap mengurus rumah tangga. Otomatis pekerjaan medis dilihat sebagai pekerjaan yang fleksibel.
Tentunya profesi kesehatan menjadi terlihat sangat fleksibel. Kita sering mendengar bahwa perempuan cenderung memilih profesi yang jam kerjanya fleksibel untuk dapat disesuaikan dengan tuntutan keluarganya. Menurut artikel yang dikeluarkan oleh Pew Reasearch Center berjudul Women more than men adjust their careers for family life, perempuan cenderung menyesuaikan karir mereka untuk kehidupan keluarga mereka.
Begitu pula dengan artikel yang dikeluarkan oleh The Atlantic berjudul Why Your Next Dentist Will Probably Be a Woman yang ditulis oleh Hanna Kozlowska. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa profesi dokter gigi di Amerika kini cenderung diisi oleh perempuan. Hal ini tak terjadi di Amerika saja, di Brazil, Jerman dan Indonesia, dokter gigi didominasi oleh perempuan.
Di Indonesia ada sebuah stereotipe yang melekat pada dokter gigi. Akronim FKG atau Fakultas Kedokteran Gigi pun sering diplesetkan menjadi Fakultas Kebanyakan Gadis. Pada kenyataannya perempuan mendominasi profesi dokter gigi di Indonesia. Tentunya pilihan seseorang untuk memilih profesi dokter gigi dengan alasan fleksibilitas (Kozlowska, 2015) harus dipertanyakan.
Ketika perempuan memilih sebuah profesi atau memutuskan untuk mengambil langkah tertentu pada karirnya, ia harus mempertimbangkan kebutuhan keluarganya (Parker, 2015). Hal ini juga sering menjadi alasan mengapa perempuan seringkali tidak bisa naik jabatan.
Pilihan-pilihan perempuan selalu dilandasi pada konstruk dimana ia dibesarkan. Oleh karena itu kita perlu jeli dalam melihat pilihan prempuan yang seringkali dipolitisasi. Tentu tidak ada yang salah dengan memilih melakukan pekerjaan perawatan sambil menekuni profesi, namun hal ini kemudian mengaburkan fakta bahwa perempuan mengalami beban ganda dan memperkuat domestikasi perempuan.
Alih-alih memberikan perempuan pemberdayaan ekonomi, tak jarang pilihan perempuan selalu dipertanyakan dan dipertentangkan. Kita sering mendengar masyarakat patriarkal dan heteronormatif mempertanyakan perempuan: mau jadi wanita karir atau mau jadi ibu rumah tangga. Perempuan yang memilih salah satu atau bahkan keduanya pun sama-sama menghadapi penghakiman. Namun pernahkah kita mendengar pertanyaan itu ditujukan pada lelaki?
Kebijakan pro-perempuan pun sudah banyak diterapkan seperti cuti melahirkan, ruang menyusui, ruang ganti popok hingga tempat penitipan anak yang disediakan oleh beberapa gedung perkantoran hingga pusat belanja. Sayangnya fasilitas tersebut tidak pula disediakan untuk lelaki yang mengurus anak, walaupun ruang ganti popok dan penitipan anak bisa diakses baik oleh perempuan dan lelaki, namun sosialisasi akan kerja perawatan lebih dikaitkan kepada perempuan sebagai pekerja rumah tangga sulung.
Glorifikasi kerja perawatan yang dilakukan perempuan juga tak lepas dari budaya popular yang mengangkat kisah-kisah perempuan sebagai ibu yang tiada letih mengurus keluarganya. Ibu dilarang untuk mengeluh dan diharapkan untuk terus tampak kuat melakuakan multi-tasking. Sejak kecil perempuan diasosiasikan untuk menurut dan melakukan kerja domestik tanpa pamrih, dan jika tidak ia akan mendapatkan hukuman dan sanksi sosial sebagai perempuan/istri durhaka dan tak layak menjadi istri idaman.
Pada akhirnya, kita harus kembali lagi mempertanyakan apakah pilihan perempuan benar-benar mebebaskan perempuan dari penindasan masyarakat yang terjadi secara sosial atau tidak.
Tentu perempuan bisa berdaya jika ia bekerja, namun ketimpangan tidak berhenti disitu. Akibat pilihan profesi perempuan yang mengutamakan fleksibilitas, perempuan masih harus melakukan kerja perawatan. Pada akhirnya perempuan tidak bisa melakukan pekerjaannya secara penuh waktu alias full time. Hal ini sering menjadi alasan banyak perusahaan, bos atau majikan tidak memberikan gaji atau upah kerja yang setara antara perempuan dan lelaki.
Keadaan serupa juga dialami oleh dokter dan dokter gigi perempuan yang tidak mendapatkan gaji yang setara dengan koleganya yang lelaki. Alasannya adalah dokter dan dokter gigi perempuan lebih sedikit menemui pasiennya ketimbang dokter dan dokter gigi lelaki (Kavilanz, 2018). Tentunya beban ganda yang dihadapi perempuan akan menghambat perempuan untuk naik jabatan dan mengembangkan karirnya. Maka tidak heran jika penentu kebijakan lebih banyak dikuasai oleh lelaki bahkan jika profesi tersebut didominasi oleh perempuan.
Perempuan hanya mengisi 25% posisi sebagai penentu kebijakan terkait kesehatan secara global (Boniol et al., 2019). Tentu memiliki pemimpin perempuan saja tidak cukup untuk dapat menyelesaikan permasalahan perempuan. Namun dampak dari absensi perempuan sebagai penentuk kebijakan sangat nyata. Dampaknya adalah minimnya kebijakan yang dapat mengedepankan dan menggunakan perspektif gender. Jika tak ada kebijakan yang memerhatikan peran-peran gender di masyarakat maka alokasi dana untuk menganggarkan layanan kesehatan yang menyeluruh pun berkurang.
Pendekatan kesehatan publik menggunakan aspek gender dapat digunakan untuk melakukan pencegahan terhadap penyakit-penyakit yang sering dialami atau didominasi oleh salah satu gender. Baik perempuan dan lelaki dapat memetik keuntungan dari pendekatan tersebut. Selain itu, pekerja medis perempuan yang masih terkekang oleh keluarganya akhirnya mengalami hambatan untuk bisa bekerja di pedalaman lantaran diwajibkan mengikuti suaminya. Hingga akhirnya klinik-klinik baik milik pemerintah maupun swasta dan perorangan hanya fokus dan terletak di kota-kota besar saja.
Feminisasi profesi kesehatan akhirnya menguatkan fakta bahwa masuknya perempuan dalam angkatan kerja pekerja kesehatan saja tidak cukup untuk memberdayakan perempuan sebagai tenaga medis, memberikan kemandirian finansial atau bahkan memberi layanan yang menyeluruh terhadap komunitasnya, selama beban kerja perawatan dalam keluarga masih ada pada perempuan. Masalah tenaga kesehatan perempuan tidak berhenti di upah, jam kerja dan minimnya fasilitas untuk ibu yang bekerja sebagai tenaga medis, namun kita perlu mendorong perubahan paradigma bahwa kerja perawatan bukan hanya tugas perempuan namun tugas lelaki.
Karena konstruksi sosial, perempuan akhirnya mendomestikasikan diri dan tanpa sadar memilih pekerjaan yang dapat disesuaikan dengan keluarganya. Perempuan juga tidak dibuat berdaya untuk dapat menegosiasikan kepada pasangan lelakinya agar bisa sama-sama memikul tanggung jawab mengurus keluarga.
Dengan adanya feminisasi profesi kesehatan, penyelenggara kesehatan terbesar yaitu negara, seharusnya mulai mendorong agar lebih banyak pengambil kebijakan menggunakan persepktif gender serta membangun paradigma publik tentang peran lelaki dalam rumah tangga.
- Boniol, M., McIsaac, M., Xu, L., Wuliji, T., Diallo, K., & Campbell, J. (2019). Gender equity in the health workforce: Analysis of 104 countries. Diakses pada 7 Juni 2020, dari https://www.who.int/hrh/resources/gender_equity-health_workforce_analysis/en/
- Kavilanz, P. (2018). The gender pay gap for women doctors is big — and getting worse. Diakses pada 7 Juni 2020, dari https://money.cnn.com/2018/03/14/news/economy/gender-pay-gap-doctors/index.html
- Kozlowska, H. (2015). Why Your Next Dentist Will Probably Be a Woman. Diakses pada 6 Juni 2020, dari https://www.theatlantic.com/politics/archive/2015/07/why-your-next-dentist-will-probably-be-a-woman/432405/
- Parker, K. (2015). Women more than men adjust their careers for family life. Diakses pada 7 Juni 2020, dari https://www.pewresearch.org/fact-tank/2015/10/01/women-more-than-men-adjust-their-careers-for-family-life/
- Prastyani, A. (2019). Riset tenaga kesehatan perempuan: himpitan peran gender sangat pengaruhi karier mereka. Diakses pada 6 Juni 2020, dari https://theconversation.com/riset-tenaga-kesehatan-perempuan-himpitan-peran-gender-sangat-pengaruhi-karier-mereka-129219
- Rajeh, M., Hovey, R., & Esfandiari, S. (2014). An Inquiry into Female Dentists’ Professional Lives and Concerns. Open Journal Of Social Sciences, 02(08), 121-129. doi: 10.4236/jss.2014.28018
- Women do 4 times more unpaid care work than men in Asia and the Pacific. (2018). Diakses pada 6 Juni 2020, dari https://www.ilo.org/asia/media-centre/news/WCMS_633284/lang–en/index.htm