Sebelum menginjak pelatihan dokter gigi di rumah sakit gigi dan mulut, dosen-dosen sudah mewanti-wanti; mereka sering memaparkan bahwa kelak pasien yang akan kami hadapi saat menjadi ko-asisten di klinik pembelajaran adalah pasien perempuan dari kelompok ekonomi menengah kebawah. Awalnya saya tidak memahami maksud dan tujuan dosen berkata demikian, namun saat menghadapi orang-orang yang menjadi pasien, saya menemukan kelompok masyarakat perempuan yang isunya jarang tersentuh oleh mahasiswa klinik kedokteran gigi.
Hampir sebagian besar pasien yang saya tangani adalah perempuan dengan latar belakang ekonomi menengah kebawah. Usianya pun bervariasi, dari usia anak-anak hingga usia lanjut. Terlebih lagi mayoritas pasien perempuan yang saya tangani adalah perempuan yang sudah menjadi ibu di usia yang sangat muda. Rata-rata mereka melahirkan anak sebelum usia 20 tahun, dan memiliki cucu di usia 40 tahun.
Melihat perempuan yang lebih muda dari saya menggendong anak saat masuk ke klinik, membuat saya bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Banyak sekali kehamilan yang terjadi adalah kehamilan tak direncanakan. Ada pula yang menikah di usia sangat muda dan mereka pun banyak yang tak mengerti resiko hamil di saat alat reproduksinya belum sempurna atau bahkan tidak tahu pentingnya agar usia anaknya berjarak dengan anak berikutnya. Memang bukan tempat saya untuk menghakimi apa yang terjadi pada mereka melainkan berusaha menempatkan diri dan memahami situasi mereka.
Minimnya akses terhadap pendidikan seks dan kesehatan reproduksi membuat mereka tak memahami cara kerja tubuh biologis mereka. Yang terjadi adalah mereka tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara untuk pendidikan dasar dan layanan kesehatan. Pemerintah terkesan abai terhadap isu-isu tersebut terutama ketika berkaitan dengan perempuan dengan latar belakang ekonomi yang dianggap kurang mampu.
Menghilangkan akses perempuan terhadap kesehatan reproduksi dan seksual merupakan kekerasan seksual. Walaupun perempuan tidak memahami apa yang ia alami adalah kekerasan, namun membiarkan perempuan hamil tanpa direncanakan dan tidak memberikannya pilihan untuk menentukan kehidupannya selain melahirkan anak adalah pemaksaan kehamilan. Pemaksaan kehamilan adalah salah satu dari 15 bentuk kekerasan seksual yang ditemukan oleh Komnas Perempuan. Dan ini yang sering luput dari pengamatan kita.
Seringkali pasien-pasien perempuan datang tanpa memiliki pengetahuan dasar bagaimana cara menyikat gigi yang baik. Tak jarang pula saya mendapati pasien-pasien saya datang dengan tekanan darah yang tinggi sehingga saya tak dapat melakukan pencabutan terhadap gigi yang sudah tak dapat berfungsi yang akhirnya menimbulkan masalah kesehatan yang baru.
Sebagai dokter gigi, saya diajarkan untuk mewawancarai pasien, mencatat keluhan dan keinginan pasien serta riwayat medisnya. Tak jarang saya mendapatkan kasus dimana pasien perempuan saya memiliki tekanan mental yang cukup tinggi, sehingga mempengaruhi tekanan darahnya. Ketika saya tanyakan apa yang membuatnya tertekan, mereka tak segan menceritakan prahara rumah tangga dan masalah-masalah pribadinya. Banyak sekali yang merasa tertekan menghadapi suaminya yang seringkali melakukan kekerasan pada mereka. Pekerjaan suami mereka sangat bervariasi, walaupun mereka menyadari bahwa mereka tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, banyak yang melarang istrinya untuk bekerja atau sekedar berdagang. Kalaupun mereka dapat bekerja, yang menguasai uang dalam rumah tangga adalah pihak suami. Kedua hal ini adalah bentuk kekerasan ekonomi.
Selain itu jika istri menuntut haknya dalam rumah tangga, tak jarang mereka mengalami kekerasan fisik. Salah satu mitra kerja saya yang membantu saya mencari pasien dan pernah menjadi pasien di rumah sakit gigi dan mulut, pernah mengalami kekerasan yang mengakibatkan bibirnya terluka. Menurut Academy of Dental Learning dan Osha Training, Amerika, 75% dari kekerasan domestik yang terjadi menyebabkan luka pada daerah kepala, leher dan/atau bibir.
Kekerasan yang terjadi dapat mengakibatkan trauma pada mulut seperti gigi yang copot atau patah, jaringan mulut yang luka, lebam, bibir mulut yang robek, rasa sakit pada wajah, hingga pada pembiaran terhadap gigi-gigi yang berlubang. Hal-hal ini dapat memperparah keadaan gigi dan mulut dan dapat menurunkan produktifitas pasien.
Dan untuk pasien perempuan yang harus kehilangan gigi depannya atau mengalami bekas luka di sekitar bibirnya, hal ini dapat menurunkan kepercayaan dirinya, sehingga akan sulit baginya untuk pergi mencari bantuan atau bahkan memulihkan dirinya pasca trauma. Kekerasan domestik tak melulu dapat terjadi pada pasangan suami istri saja atau pasangan heteroseksual saja, namun pada pasangan yang berpacaran, pada anak, hingga pada orang tua.
Akses terhadap kesehatan gigi dan mulut tidaklah mudah. Walaupun puskesmas sudah banyak menyediakan layanan dokter gigi, banyak perempuan yang telah menjadi ibu tak memiliki waktu untuk ke dokter gigi di siang hari karena harus mengurus rumah tangga. Ada perempuan yang mampu untuk pergi ke dokter gigi, namun sebagian besar dari mereka harus meninggalkan banyak hal dan lebih mengutamakan untuk mengurus rumah tangga terlebih dahulu sebelum akhirnya pergi untuk mencari pengobatan. Inilah dilema yang saya alami tatkala berupaya menentukan jadwal untuk bertemu pasien saya di klinik.
Hingga akhirnya waktu yang tersisa adalah malam hari dimana klinik dokter gigi yang buka adalah klinik yang menagih pasiennya dengan biaya cukup mahal. Adanya BPJS memang memudahkan pasien-pasien untuk mengakses layanan yang ada bahkan pada klinik swasta, akan tetapi masih banyak hal yang perlu diperbaiki dari sistem tersebut.
Sebagai dokter gigi, kami selalu diajarkan untuk menghilangkan penyebab dari penyakit atau sebuah kondisi yang ada, namun jarang sekali kami memahami keadaan sosial yang ada. Banyak dokter gigi yang tak mampu memahami keadaan sosial yang menyelimuti masyarakat kita terutama pada pasien perempuan.
Oleh karena itu, sebagai dokter gigi, kita perlu menyadari pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk segera disahkan. Pengesahan RUU ini diperlukan tidak hanya semata-mata untuk menyelamatkan pasien kita namun kita perlu mendidik pasien kita untuk bisa mengenal hak-haknya. Kita perlu terlibat dalam pemulihan psikis dan kesehatan penyintas dan agar kita dapat menghentikan siklus kekerasan yang dialami pasien kita.
Memang peran dokter gigi tak disebutkan dalam naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun sebagai tenaga kesehatan, kita harus hadir dalam proses penyembuhan pasien bahkan hingga ia pulih dan mendapatkan kepercayaan dirinya kembali untuk melanjutkan kehidupan. Karena sudah menjadi kewajiban dokter gigi memberikan upaya kesehatan dan salah satunya dengan cara mendeteksi bentuk kekerasan yang terjadi pada pasien.
Untuk dapat memahami bagaimana cara menindaklanjuti dan menentukan standar operasional prosedur dalam menghadapi pasien yang telah mengalami kekerasan, butuh kajian dan penelitian yang lebih dalam. Namun bukan berarti kita diam dan tak turut menyuarakan keresahan kita terhadap kekerasan seksual yang terjadi.
Dengan partisipasi dokter gigi yang didominasi oleh perempuan, seharusnya lebih mudah bagi dokter gigi untuk berempati dan mendengarkan keluh kesah pasien perempuan. Namun tampaknya banyak dari dokter gigi perempuan sendiri yang belum memahami pentingnya untuk turut serta bergerak menuntut DPR agar segera mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena banyak di antara dokter gigi perempuan sendiri yang masih mengalami belenggu sosial, beban ganda rumah tangga dan pekerjaan serta hidup dalam budaya patriarki, sehingga tak ada waktu ataupun kesempatan untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuannya perihal gender dan kaitannya dengan ilmu kedokteran gigi.