Kita jarang bicara mengenai kesehatan mental di lingkungan pendidikan kedokteran gigi. Padahal sewaktu kita kuliah, kita sering mendapat pasien gigi karena kesehatan mental yang tak tertangani. Contohnya seperti bruxism, tekanan darah tinggi yang mengakibatkan pasien tak bisa melakukan perawatan, hingga buruknya oral health. Itu semua bisa kita kaitkan dengan kesehatan mental.
Pasti di antara kita, ada yang pernah mendengar mengenai mahasiswa kedokteran gigi yang tak kunjung menyelesaikan program profesi kedokteran giginya. Dari awal kuliah hingga program profesi, seseorang bisa menyelesaikan studi kedokteran gigi hingga sepuluh tahun lebih. Belum lagi jika seorang mahasiswi memilih menikah dan memiliki anak, mereka akan mengambil cuti untuk mengurus anak mereka.
Kita jarang mempertimbangkan bahwa kesehatan mental seseorang mahasiswa koas gigi dapat menghambat produktifitasnya untuk melanjutkan studi. Pada kenyataanya mahasiswa kedokteran gigi mengalami berbagai tekanan mulai dari depresi, kecemasan dan stress (Basudan et al, 2017).
Studi menunjukkan bahwa ada banyak yang menyebabkan stress pada mahasiswa kedokteran gigi yaitu pelatihan klinik dan tekanan untuk memiliki performa yang baik (Polychronopoulou and Divaris, 2009), perawatan pada pasien (Kumar et al, 2009) , komponen akademik seperti ujian dan penilaian hingga biaya kuliah kedokteran gigi ((Muirhead & Locker, 2008) & (Morse & Uria, 2007)).
Belum lagi jika ditambah dengan sederetan syarat pasien yang harus dipenuhi oleh mahasiswa koas gigi. Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran gigi di Malaysia oleh Ahmad et al (2011), dalam memenuhi syarat pasien gigi, mahasiswa koas gigi juga mengalami berbagai kendala terkait pasiennya. Masalah yang sering dihadapi seperti telatnya kedatangan pasien gigi, kesulitan mencari pasien sendiri, dan sulitnya mencari pasien yang sesuai dengan syaratnya.
Selain bermasalah dengan pasiennya, mahasiswa koas gigi juga menghadapi persoalan akademik yang menjadi salah satu faktor stress. Tantangan akademik yang dihadapin mahasiswa koas gigi yaitu memenuhi jadwal absensi, syarat ujian, ketakutan jika tertinggal dan ketakutan untuk gagal (Ahmad et al, 2011).
Kebijakan kampus penyelenggara program profesi dokter gigi pun juga berbeda-beda. Kebijakannya dapat berubah sewaktu-waktu dan perubahan tersebut hanya menguntungkan beberapa koas gigi baru. Belum lagi kebijakan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang otomatis melakukan perubahan sistem tanpa mempertimbangkan mahasiswa yang sudah lama terjebak dikampusnya.
Selanjutnya permasalahan tidak berhenti disitu. Mahasiswa koas gigi bisa mengalami anxiety atau kecemasan ketika menghadapai dosen yang menjadi supervisor klinik. Tak jarang saya sendiri mengurungkan niatan saya untuk mengerjakan kasus di kampus, hanya untuk menghindari dosen tertentu. Atau biasanya saya masuk dengan menyesuaikan dengan dosen yang jaga, dan disaat saya mengerjakan pasien, belum tentu saya mendapatkan dental unit untuk bekerja.
Akhirnya saya hanya bisa masuk seminggu sekali untuk mengerjakan satu kasus saja karena saya tahu ketika saya mengerjakan banyak kasus dalam satu minggu, banyak pasien saya yang akan terlantar. Dan tentunya saya dapat mengalami tekanan mental ketika membandingkan diri saya dengan teman yang lainnya.
Tak jarang saya memiliki teman-teman yang mengalami fase serupa. Mereka bahkan menolak untuk kembali masuk kuliah. Ada yang memutuskan untuk keluar dari pendidikan profesi dokter gigi, ada yang memutuskan untuk mengambil cuti dan rehat sejenak selama berbulan-bulan.
Selain masalah pasien, akademik, kebijakan kampus dan dosen, mahasiswa koas gigi perempuan tentu mengalami tekanan mental yang lebih dalam. Kita tak mempertimbangkan kecenderungan perempuan untuk menikah saat masih studi melebihi lelaki yang menikah saat masih menjalankan studinya.
Tentu tidak ada yang salah dengan menikah saat melakukan studinya namun pada kenyataannya lelaki tidak dipaksa untuk memilih antara melakukan studi atau berumah tangga. Sedangkan mahasiswa koas gigi perempuan seringkali berkonflik dengan pasangannya mengenai pilihan karirnya (Ahmad et al, 2011).
Tentu, bagi sebahagian orang, kita bisa bilang bahwa kita seharusnya menjadikan teman kita yang lebih rajin sebagai motivasi, tapi depresi tidak bisa disembuhkan dengan membuat orang merasa kecil hanya karena mereka tidak termotivasi. Seringkali dosen-dosen tidak mengajari kita untuk memvalidasi dan mengenali tekanan yang dirasakan. Kita didorong untuk terus semangat tanpa mengakui adanya hambatan psikis yang menghalangi seseorang untuk menyelesaikan studinya.
Kampus-kampus kita tidak memberi kita istilah terhadap perasaan burn out yang dialami oleh mahasiswa koas gigi. Kita tidak diajarkan untuk mencari bantuan professional atau mendapatkan fasilitas konseling psikologis di kampus-kampus kita. Selain itu sistem pendidikan kita dirancang tanpa memerhatikan aspek psikologis. Begitupula dengan tenaga pendidik yang tidak ramah terhadap mahasiswa koas giginya, juga memberikan dampak kecemasan tersendiri ketika berinteraksi dengan mahasiswa koas gigi.
Pada kenyataanya hingga hari ini banyak mahasiswa koas gigi yang belum selesai studinya hingga melewati batas yang ditentukan. Dan tentu ini berpengaruh terhadap predikat dan peringkat kampus.
Jika selama ini kita terus mengejar untuk menaikkan akreditasi kampus dan Rumah Sakit Gigi dan Mulut kita melalui peringkat mahasiswa kedokteran gigi, lantas kenapa kita tidak berinvestasi terhadap kesehatan mental mahasiswa koas gigi?
Berinvestasi terhadap kesejahteraan dan kondisi mental mahasiswa koas gigi tidak akan membuat anggaran kampus atau kurikulum terbebani. Justru hal ini bisa meningkatkan well-being mahasiswa koas gigi juga tenaga pengajarnya, serta meningkatkan status kampusnya.
Atau setidaknya, kita bisa memasukkan kurikulum mengenai kesehatan mental dan cara mengatasi tekanan ke dalam kurikulum pendidikan profesi dokter gigi. Serta membuka sesi konseling bagi mahasiswa yang membutuhkan pertolongan psikolog. Dari sesi konseling itu, kita dapat mengetahui apa yang membuat seorang mahasiswa koas gigi terhambat menjalani studinya dan melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan yang kita terapkan.
Seharusnya temuan-temuan tentang kesehatan mental pada mahasiswa koas gigi dijadikan acuan dalam mengevaluasi bagaimana program pendidikan dokter gigi menghambat seseorang untuk menyelesaikan studinya.
Selain memasukkan kesehatan mental, kita harus memasukkan pendidikan gender agar mahasiswa perempuan dan lelaki dapat memahami kompleksitas permasalahan gender pada tenaga dokter gigi perempuan dan pada pasiennya. Hal ini dapat membantu mahasiswa kedokteran gigi perempuan agar lebih berdaya dalam menentukan pilihannya karirnya dan dalam berumah tangga, serta memahami permasalahan pasiennya yang seringkali mengalami berbagai kekerasan berbasis gender.
Daftar Pustaka
Ahmad, M. S., Md Yusoff, M. M., & Abdul Razak, I. (2011). Stress and its relief among undergraduate dental students in Malaysia. The Southeast Asian journal of tropical medicine and public health, 42(4), 996–1004.
Basudan, S., Binanzan, N., & Alhassan, A. (2017). Depression, anxiety and stress in dental students. International journal of medical education, 8, 179–186. https://doi.org/10.5116/ijme.5910.b961
Kumar, S., Dagli, R. J., Mathur, A., Jain, M., Prabu, D., & Kulkarni, S. (2009). Perceived sources of stress amongst Indian dental students. European journal of dental education : official journal of the Association for Dental Education in Europe, 13(1), 39–45. https://doi.org/10.1111/j.1600-0579.2008.00535.x
Morse, Z., & Dravo, U. (2007). Stress levels of dental students at the Fiji School of Medicine. European journal of dental education : official journal of the Association for Dental Education in Europe, 11(2), 99–103. https://doi.org/10.1111/j.1600-0579.2007.00435.x
Muirhead, V., & Locker, D. (2008). Canadian dental students’ perceptions of stress and social support. European journal of dental education : official journal of the Association for Dental Education in Europe, 12(3), 144–148. https://doi.org/10.1111/j.1600-0579.2008.00512.x
Polychronopoulou, A., & Divaris, K. (2009). Dental students’ perceived sources of stress: a multi-country study. Journal of dental education, 73(5), 631–639.