Ketika Perempuan tidak bisa Mengakses Pengobatan Gigi

Ketika kita membicarakan kesehatan perempuan, kita sering meninggalkan permasalahan penyakit gigi dan mulut yang dialami oleh perempuan. Perempuan dari ragam usia terutama dari strata ekonomi menengah ke bawah kesulitan mengakses pengobatan gigi. Tentunya yang menyebabkan perempuan kesulitan mengaksesnya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi sosial dan sisi medis.

Sewaktu saya koas, saya pernah mendapatkan pasien perempuan usia paruh baya. Saat itu ia datang dengan keluhan giginya yang sisa akar dan hendak mencabut giginya. Saya melakukan pemeriksaan intraoral dan ekstraoral, termasuk pemeriksaan umum. Saat saya memeriksa tekanan darahnya, saya mendapati pasien saya memiliki tekanan darah yang tinggi.

Saya pun berusaha menggali mengapa ia bisa sampai memiliki tekanan darah tinggi. Pasien tersebut kemudian bercerita bahwa ia mengalami stress karena masalah keluarganya. Sedangkan anak lelaki yang terakhir hanya bermain game di telepon genggamnya dan tak berusaha melakukan apa-apa atau bahkan tak berusaha membantu pekerjaan rumah tangga.

Perempuan paruh baya ini berasal dari rumah tangga ekonomi bawah. Ia juga merupakan ibu rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap kemandirian finansial. Sehingga dengan keadaan serupa ia mengalami stress yang berdampak pada tekanan darahnya. Karena tekanan darahnya tinggi, saya tidak berani mencabut gigi. Ini adalah contoh hambatan perempuan mendapatkan pengobatan gigi dari sisi medis.

Kasus lain, saya mendapati perempuan ibu rumah tangga usia tigapuluh tahunan yang datang ke klinik bersama suaminya. Ia hendak mencari pengobatan gigi terhadap giginya yang sakit. Namun selama pemeriksaan, sang suami terus mengintervensi saya dan pilihan pengobatan gigi istrinya.

Saya memang mengedukasi pasien saya agar melanjutkan perawatan giginya menjadi perawatan saluran akar, namun sang suami terus mengintervensi dan memintanya untuk dicabut saja. Ketika gigi masih utuh dan bisa diselamatkan saya tidak menyarankan untuk dicabut karena jika dicabut, pasiennya harus dipasang gigi palsu.

Alasan sang suami terus mengintervensi saya adalah perihal biaya yang harus ditanggungnya dan waktu yang harus dihabiskan karena si perempuan adalah ibu rumah tangga. Padahal jika dibandingkan biaya perawatan saluran akar gigi dan mencabut gigi serta memasang gigi palsu, justru lebih mahal jika harus dipasang gigi palsu. Belum lagi nanti akan ada perubahan fisiologis pada jaringan di sekitar gigi yang sudah tidak ada. Dengan tetap melakukan perawatan saluran akar gigi, gigi dapat terawat dan jaringan di sekirar gigi tak akan dipengaruhi.

Pada akhirnya saya tetap menyarankan pasiennya untuk tetap mekakukan perawatan gigi dan merujuknya ke salah satu RSUD terdekat jika ia menginginkan biaya yang lebih murah. Dari sini kita bisa melihat bagaimana sulitnya perempuan mengakses pengobatan gigi hanya karena suaminya berusaha mengontrol perawatan yang istrinya boleh dapatkan. Ini adalah contoh faktor sosial yang membuat perempuan kesulitan mengakses pengobatan gigi.

Dari kedua kasus di atas, saya melihat bahwa perempuan mengalami bentuk ketidakberdayaan yang menyebabkan dia sulit mengakses pengobatan gigi. Dari faktor medis pun, kita bisa melihat ketidakberdayaan perempuan tatkala dia menderita stress akibat konstruk sosial yang membuat dia tidak memiliki pilihan untuk berdaya. Dari faktor sosial pun kita bisa melihat bagaimana perempuan memiliki ketergantungan secara finansial untuk dapat mengakses pengobatan gigi.

Tentu kita tak bisa salahkan pilihan dan keadaan perempuan yang merupakan ibu rumah tangga. Namun kita harus berusaha mengulik apa yang membuatnya tidak berdaya. Ada perempuan yang berdaya sebagai ibu rumah tangga, ada yang tidak.

Saya akan mengutip Sarah Hawkes dari pemaparan webinar mengenai membangun agenda kesehatan; “Bukan sistem kesehatan yang membuat manusia sehat, masyarakatlah yang membuat manusia sehat.” Hawkes berupaya menjelaskan adanya sistem dan masyarakat yang membuat perempuan sakit.

Dari sini kita bisa lihat apa yang membuat ibu rumah tangga mengalami tekanan darah tinggi, yaitu adanya konstruk masyarakat yang membuat dirinya tidak berdaya melihat masalah di dalam keluarganya. Anak lelakinya yang membuat dia stress juga hasil didikan dari budaya patriarkal yang tidak mengajarinya untuk ikut serta mengerjakan pekerjaan domestik.

Pasien perempuan yang kesulitan mengakses pengobatan gigi karena suaminya menghalanginya juga mengalami ketidakberdayaan untuk mengakses ekonomi dan pengobatan gigi karena menggantungkan keadaan finansialnya.

Dari sini kita bisa lihat bagaimana masyarakat tidak memberi perempuan pilihan dan akses pengetahuan agar ia berdaya dan hidup sehat. Sistem dan budaya masyarakat yang ada tidak memberikan perempuan kondisi yang layak untuk mendapatkan kesempatan untuk hidup sehat.

Lantas bagaimana kita sebagai dokter gigi bersikap dan mengadvokasi hak-hak pasien untuk mengakses pengobatan gigi?

Kita harus memahami bahwa ada sistem yang mensubordinasi perempuan yang membuat dirinya tidak berdaya dan berkuasa atas tubuhnya sendiri, yaitu sistem patriarki.

Sistem patriarki ini kemudian membentuk faktor ekonomi, sosial dan politik yang melatarbelakangi seorang perempuan tidak dapat berdaya untuk hidup sehat. Kita juga harus memahami bahwa sistem ini menyebabkan perempuan mengalami tekanan mental sehingga berdampak pada kondisi kesehatannya.

Bagi pasien perempuan yang mengalami tekanan mental, maka ia membutuhkan bantuan untuk memulihkan diri. Kita harus bisa dan mulai berani membicarakan kesehatan mental dengan pasien-pasien kita agar ia dapat percaya diri mencari bantuan. Tentunya bagi masyarakat dari ekonomi menengah kebawah ia bisa mulai mengakses layanan psikolog di puskesmas terdekat.

Bagi pasien perempuan yang terus mengalami intervensi perawatan oleh pasangannya, kita harus bisa menegaskan bahwa semua keputusan ada di tangan pasien. Pasien yang punya kuasa dan yang berhak memutuskan perawatan yang ia inginkan setelah diedukasi. Oleh karena itu, ada baiknya jika pasangannya dipersilahkan untuk menunggu diluar ruangan tindakan.

Sebagai dokter gigi, terutama dokter gigi perempuan, kita juga harus bisa menguatkan dan memberdayakan pasien-pasien perempuan dengan cara mengedukasi, baik mengedukasi mengenai kesehatan gigi dan mulutnya juga mengedukasi terkait hak-hak kesehatannya. Karena dokter gigi juga memainkan peranan yang kuat dalam memberdayakan pasien perempuannya.

Daftar pustaka

  • Hawkes, S. (2020). Setting the #Feminist Agenda: Universal Healthcare and Women [Video]. Retrieved from https://www.facebook.com/NationalWomensCouncilofIreland/videos/1475653095954354

Leave a Comment